Narasoma
Surya memancar menghangatkan bumi pertanda pagi mulai terang
benderang. Sepi lengang di pertapaan Argabelah tidak ada lagi canda tawa dara
jelita penghuni kuil, tidak ada lagi senandung syahdu ditepian telaga kecil
yang berhias bunga-bunga padma, begitu pun alunan doa rajaresi tidak lagi
mengumandang. Argabelah menjadi tempat mati berselimut belukar setelah
sepeninggalnya Resi Bagaspati. Satu-satunya ahli waris sang resi telah diboyong
oleh putra mahkota Mandaraka. Demikian pengorbanan Bagaspati sebagai seorang
ayah, ia rela mengorbankan apa saja yang menjadi milikinya, sekalipun nyawa
yang harus ia berikan, asalkan sang putri bisa berlayar menempuh harapan
kebahagiaan.
Narasoma dan Pujawati telah menetap di Mandaraka, kehadiran
mereka disambut hangat oleh keluarga Prabu Mandrapati. Pujawati sangat bersuka
cita, kini ia memiliki tempat dan kawan bermain yang baru, hidup di lingkungan
istana yang megah, dilayani oleh dayang-dayang yang setia menemani. Dewi
Tejawati ibu mertuanya, dan Dewi Madrim adik iparnya sangat menyayanginya,
mereka selalu menghibur disaat Pujawati sedih teringat mendiang bopo resi.
Pada suatu hari di Paseban Agung istana Mandaraka, Prabu
Mandrapati memanggil Narasoma. Tidak ada orang lain selain mereka berdua,
seakan ada rahasia penting yang hendak disampaikan sang prabu kepada putranya.
"Narasoma, saat
ini Prabu Basukunti, raja negara Mandura bermaksud ingin menikahkan putrinya,
namun ia menginginkan seorang kesatria yang cakap dan tangguh untuk dijadikan
menantu, maka dari itu ia berencana akan menggelar sayembara. Kepada siapa saja
yang dapat memenangkan sayembara, Prabu Basukunti akan menganugerahkan Kunthi
Nalibrata.
Seperti yang ananda tahu, bahwa
Mandaraka dan Mandura masih kerabat baik, dalam darah kita mengalir juga darah
mereka, darah bangsa Yadawa. Untuk itu ayahanda ingin ananda mengikuti
sayembara agar jalinan kekerabatan kita menjadi semakin kukuh. Ayahanda percaya,
ananda akan dapat memenangkannya. Kecakapan dan keperkasaan ananda sebagai
putra mahkota Mandaraka akan dihormati dan disegani oleh raja-raja mancanegara."
Narasoma tertegun mendengar keinginan ayahandanya. Ia jadi
gelisah dan bingung, sebab jika ia mengikuti sayembara dan memenangkannya, maka
Dewi Kunthi akan menjadi istrinya, sedangkan ia sangat mencintai Pujawati.
Apalagi ia sudah berjanji tidak akan menikahi wanita lain selain Pujawati,
tetapi jika keinginan ayahandanya tidak dituruti tentu ia akan mendapat
kemurkaan dari ayahandanya. Dalam keadaan bingung itu, Narasoma mencoba
menjelaskan kepada ayahandanya.
"Ampun ayahanda
prabu, sesungguhnya ananda telah berjanji untuk tidak menghianati Pujawati.
Bahkan, di hadapan bopo Resi Bagaspati, ananda telah mengangkat sumpah tidak
akan menduakan Pujawati, apalagi menyakiti hatinya. Sebagai seorang kesatria,
ananda tidak mugkin menjilat ludah sendiri. Maka dari itu, bukannya ananda
menolak mengikuti sayembara, akan tetapi ananda hanya tidak ingin menduakan
Pujawati dengan siapapun."
Prabu Mandrapati mencoba membujuk agar putranya mau
mengikuti sayembara, tetapi Narasoma selalu menolak secara halus dan berdalih,
membuat Prabu Mandrapati marah karena Narasoma dianggap tidak memiliki bakti
kepada orang tua, tidak bisa menyenangkan hati orang tua. Prabu Mandrapati
merasa sangat terpukul hingga menderita sakit. Sejak peristiwa itu Prabu
Mandrapati jarang tampil di paseban agung kerajaan, membuat para pembesar dan
punggawa istana menjadi khawatir, terlebih keluarga kerajaan sangat prihatin
dengan keadaan sang prabu. Dewi Tejawati, istri sang prabu sangat iba melihat
suaminya terbaring lemah di pembaringan, begitu juga Dewi Madrim yang selalu
menangis di samping ayahandanya, sedangkan Pujawati sendiri sangat tekun
mengurusi ayah mertuanya, membantu tabib-tabib istana yang mencoba memberi
pengobatan.
Narasoma hanya bisa tertunduk di samping pembaringan
ayahandanya. Sebenarnya ia sangat sayang terhadap keluarga, kepada ayahanda,
ibunda, adik dan istrinya. Dan ketika sakit ayahandanya tidak juga kunjung
sembuh, maka Narasoma memutuskan untuk memenuhi keinginan ayahandanya. Ia
berbisik kepada sang ayah, berjanji dan meminta restu untuk mengikuti
sayembara. Hanya kepada Pujawati, Narasoma beralasan ingin mencari tabib sakti
untuk mengobati ayahanda. Ia segera berangkat menuju negeri Mandura.
Kerajaan Mandura (Mathura)
Dewi Kunthi Nalibrata (Dewi
Prita) sebenarnya adalah anak angkat Prabu Basukunti, ia anak dari
Raja Surasena yang juga berbangsa Yadawa, yang berarti masih kerabat dekat
Prabu Basukunti sendiri. Dewi Kunthi diangkat anak oleh Prabu Basukunti sejak
masih bayi, pada saat itu Prabu Basukunti sendiri telah memiliki seorang putra
yang bernama Basudewa, namun kemudian setelah ia diberi seorang anak perempuan
oleh kerabatnya, dari istrinya, Dewi Dayita putri Raja Boja, Prabu Basukunti
dikaruniai seorang putra lagi, bernama Ugrasena.
Alkisah, sebenarnya sayembara yang digelar oleh Prabu
Basukunti tidak lain adalah untuk menutupi aib yang telah menjadi rahasia
keluarga istana. Diceritakan bahwa, Dewi Kunthi (Prita) telah mengalami peristiwa yang menggegerkan keluarga istana
Mandura. Kisahnya berawal saat negeri Mandura kedatangan seorang pertapa sakti
bernama Resi Druwasa dari pertapaan Jagadwitana. Prabu Basukunti memberi tempat
kepada sang resi, dan mengangkatnya sebagai danghyang ajarya (guru) bagi putra-putrinya.
Di istana Mandura, Resi Druwasa sangat terkesan dengan
prilaku dan pelayanan Dewi Kunthi. Sang dewi sangat santun dan patuh, berbudi
pekerti baik, sangat menghormati hidup orang lain, apalagi kepada orang tua dan
gurunya. Karena rasa sayangnya itulah Resi Druwasa menganugerahi japa mantra
sakti Adityaherdaya kepada kunthi Nalibrata, yang mana kegunaan mantra tersebut
adalah untuk memanggil dewa-dewi khayangan, sesuai yang dikehendaki.
Dikisahkan pula, setelah Dewi Kunthi menerima japa mantra
dari Resi Druwasa, ketika ia sedang menyendiri di kaputren, ia sangat penasaran
dengan mantra sang resi, walau gurunya telah memberi amanat bahwa mantra
tersebut hanya dipergunakan jika benar-benar dibutuhkan. Tetapi, sebagai
seorang dara yang belum cukup dewasa dan matang, rasa penasaran itu sangat
menggoda dirinya untuk mencoba mantra tersebut.
Ketika itu Dewi Kunthi sedang menyendiri di taman
Batachinawi, taman indah berhias seribu bunga. Diantara hangatnya dekapan sinar
mentari pagi dan semilirnya angin yang berhembus, Dewi Kunthi melantunkan
mantra-mantra Adityaherdaya. Seketika ia terkejut melihat taman kaputren
menjadi terang benderang bertaburan cahaya. Di hadapannya telah berdiri sosok
Bathara Surya dengan menggunakan mahkota yang bergemerlapan.
"Apa yang kau
inginkan dariku, dewi?"
Dewi Kunti terpesona melihat keelokan Bathara Surya.
"Hamba hanya
mencoba mantra dari guru hamba, Resi Druwasa..."
"Tapi kau telah membacakannya
ketika hangat mentari menyinari tubuhmu."
Sejak saat itu, tidak ada lagi kata-kata terucap dari dua
insan yang telah sama-sama terpaut hati, menyelami samudra hati diantara
mereka. Dari kejadian itulah, hingga akhirnya Dewi Kunthi berbadan dua, hamil.
Dewi Kunthi hamil diluar pernikahan, membuat seluruh keluarga istana Mandura
menjadi bingung, lebih-lebih Prabu Basukunti yang marah karena merasa malu. Apa
yang akan dikatakan oleh rakyat negerinya, juga raja-raja sahabat mancanegara,
jika kehamilan putrinya yang tanpa suami itu tersiar. Resi Druwasa sangat
prihatin, tetapi juga merasa sangat bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Bagaimanapun, Kunthi adalah muridnya, dan ia juga yang telah memberikan mantra
sakti kepadanya.
Untuk menjaga nama baik keluarga kerajaan, maka dengan
kesaktiannya, ketika tiba waktunya Dewi Kunthi akan melahirkan putra pertamanya
dari Bathara Surya, Resi Druwasa mengeluarkan jabang bayi Kunthi melalui
telinga sebelah kiri. Hal tersebut dimaksudkan agar keperawanan Kunthi tetap
terjaga.
Setelah putra Surya terlahir, Prabu Basukunti memerintahkan
sang dewi membuang bayi tersebut. Dengan perasaan sedih dan berat hati, Dewi
Kunthi menuruti kehendak ayahandanya. Ia membuang putranya yang telah diberi nama
Basukarna (karena ia terlahir melalui
telinga). Bayi elok yang telah memiliki pusaka pembawaan sejak lahir berupa
baju Tamsir Kerei Kaswargan dan anting mustika sakti Pucunggul Maniking Surya
itu akhirnya dilarung (dihanyutkan)
ke sungai Gangga. Kelak Basukarna ditemukan oleh Adhirata, kusir kerajaan
Hastinapura.
Salimbara (Sayembara)
Negeri Mandura telah ramai dikunjungi oleh para kesatria,
putra mahkota, dan raja-raja dari seluruh mancanegara. Pada waktu itu,
setiap harinya alun-alun negeri Mandura dipadati oleh rakyat bangsa Yadawa yang
ingin menyaksikan jalannya sayembara. Rakyat Mandura ingin menyaksikan sendiri
ketangguhan kesatria yang akan memboyong putri sekar kedaton, dewi Kunthi
Nalibrata.
Singkat cerita, satu persatu para kesatria dan raja-raja
mancanegara yang telah menjadi peserta sayembara mencoba memanah seekor burung
yang berada dalam sangkar besi. Bentuk sayembara yang diselenggarakan oleh
Prabu Basukunti adalah memanah seekor burung yang berada dalam sangkar besi
yang diputar sangat kencang. Barang siapa yang mampu memanah burung di dalam
sangkar yang berputar, maka dialah yang akan memenangkan sayembara. Satu
persatu anak-anak panah yang dilepaskan para peserta sayembara luruh
berjatuhan. Panah-panah mereka tidak mampu menembus seekor burung di dalam
sangkarnya, sebab jari-jari sangkar besi yang berputar sangat cepat menjadi
perisai ketika anak-anak panah itu mencoba menyusup pada celah-celahnya.
Kegagalan para peserta sayembara sempat membuat peserta
lainnya menjadi putus asa, beberapa diantara mereka mengundurkan diri, ada yang
langsung pulang kembali ke negara mereka, dan ada pula yang masih penasaran
ingin ikut menyaksikan tuntasnya sayembara. Baik keluarga raja ataupun rakyat
Mandura berharap ada satu diantara mereka yang mampu memenangkan sayembara,
tapi lagi-lagi gagal. Telah beberapa hari sayembara digelar, namun belum juga
ada peserta sayembara yang memenangkan pertandingan.
Hingga tiba giliran peserta terakhir maju ke arena
pertandingan, ia tidak lain adalah Narasoma dari Mandaraka. Narasoma mengangkat
busur panahnya, mengarah pada sangkar besi yang terletak berjarak puluhan
tumbak di hadapannya. Semua yang hadir bertanya-tanya dalam hati mereka,
akankah anak panah itu bernasib serupa dengan anak-anak panah sebelumnya yang
telah dilepaskan para kesatria tanding sebelumnya? Mampukah Narasoma
melakukannya?
Narasoma melepas anak panah dari busurnya tatkala sangkar
besi berputar sangat kencang. Ribuan mata masih menatap sangkar yang berputar,
yang berangsur-angsur putarannya menjadi pelan. Serentak sorak sorai meriuh,
menyoraki kemenangan putra mahkota Mandaraka. Panah Narasoma menembus seekor
burung yang berada tepat di dalam sangkarnya. Prabu Basukunti beserta keluarga
kerajaan sangat gembira, karena pada akhirnya ada seorang kesatria yang mampu
memenangkan sayembara.
Narasoma dielu-lukan oleh rakyat Mandura, ibarat seorang
pahlawan perang yang telah memenangkan pertempuran di medan perang. Setelah
semuanya mereda menahan kegirangan, Narasoma lalu menghadap Prabu Basukunti di
pelataran panggung sayembara, tapi tiba-tiba dari kerumunan penonton sayembara
datang tiga orang satria menuju pelataran sayembara, salah satu dari mereka
menyatakan ingin mengikuti sayembara. Membuat Prabu Basukunti menanyakan
jatidiri mereka.
"Siapa gerangan
kisanak bertiga? Berasal dari manakah?"
"Perkenalkan,
nama hamba Pandu Dewanata. Ini kakak hamba, kanda Destarata, dan adik hamba
Widura. Kami putra Praburesi Abyasa dari negeri Hastinapura. Kedatangan kami
tidak lain adalah ingin mengikuti Sayembara Kunthi Nalibrata."
Prabu Basukunti tertegun setelah mengetahui siapa ketiga
satria tersebut.
"Oh!.. ternyata
kalian dari Bangsa Kuru, datang dari jauh ingin mengikuti sayembara. Sungguh
sangat disayangkan kedatangan kalian terlambat. Ketahuilah Pandu, sayembara
Kunthi Nalibrata baru saja usai, dan sayembara telah dimenangkan oleh Narasoma,
putra mahkota Mandaraka."
Para putra Hastina tertunduk setelah mendengar sayembar
ditutup karena sudah ada pemenangnya. Kedatangan mereka ternyata terlambat,
namun saat ketiganya hendak pamit meninggalakan tempat, tiba-tiba Narasoma
menahannya.
"Jika paduka
berkenan, biarkan mereka diberi kesempatan untuk mengikuti sayembara."
Narasoma meminta Prabu Basukunti mengulang kembali
sayembara. Dalam pikiran Narasoma, ini adalah kesempatan baik untuk menguji
ketangguhan putra-putra Hastina. Bukanlah Bangsa Kuru telah tersohor keberbagai
negara Mancanegara? Secara turun temurun bangsa itu telah disegani kawan dan
ditakuti lawan, tapi itu leluhur mereka yang terdahulu, dan ia hanya mendengar
cerita. Dan sekarang, apakah ketiga kesatria Hastinapura itu setangguh para
pendahulunya. Ini adalah waktu yang tepat untuk menguji kemampuan mereka,
apakah mereka memiliki kemampuan melakukan hal yang sama dengan dirinya?
Kesatria dan raja-raja mancanegara sendiri tidak ada yang sanggup melakukannya.
Begitulah yang ada dalam pikiran Narasoma, ia hendak bermaksud mempermalukan
para kesatria Kuru. Narasoma pun nampak kesombongannya setelah dielu-elukan, ia
sangat suka dipuji.
"Apa maksudmu
Narasoma? Kau yang telah memenangkan sayembara, dan aku tidak mungkin merubah
peraturan!"
"Kalau begitu,
biar hamba yang membuka sayembara baru untuk mereka. Karena Kunthi Nalibrata
telah menjadi hak hamba, maka hamba berhak membuat keputusan atas Kunthi."
Prabu Basukunti sangat tersinggung dengan perkataan
Narasoma, walau memang betul Kunthi Nalibrata telah menjadi haknya karena telah
memenangkan sayembara, tetapi Narasoma dianggap tidak menghargai orang lain,
bahkan menghormatinya sebagai raja Mandura, sekaligus bakal menjadi mertuanya.
Tapi mengingat Narasoma adalah putra Prabu Mandrapati yang menjadi sahabatnya
sekaligus masih memiliki hubungan kekerabatan darah Yadawa, maka Prabu
basukunti mencoba menahan diri, membiarkan Narasoma melakukan kemauannya. Toh,
segala kesombongan tidak akan berakhir baik.
"Aku memberi
kesempatan padamu untuk mengikuti sayembara, tapi dengan satu pertaruhan, jika
kau mampu melakukan apa yang telah aku lakukan pada sayembara tadi, maka Kunthi
Nalibrata akan aku serahkan padamu, tapi jika kau tidak mampu melakukannya,
maka negeri Hastinapura menjadi negeri taklukan Mandaraka."
Semua yang hadir terkejut mendengar perkataan Narasoma,
termasuk Prabu Basukunti. Tetapi para kesatria Kuru masih bersikap
tenang, mereka seolah tidak terpengaruh oleh tantangan Narasoma.
"Kedatang kami ke
Mandura hanya ingin mengikuti sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti.
Adapun sang prabu telah menutup sayembara karena kau telah memenangkannya, maka
kami pun akan turut undur diri, kami tidak menginginkan hal lain yang akan
menimbulkan perkara."
Pandu Dewanata lalu memberi hormat kepada Prabu Basukunti
dan mengajak kedua saudaranya beranjak pergi meninggalkan Mandura, tapi
Narasoma malah mengejeknya.
"Apa kau takut
menghadapi tantangan, Pandu? Bukankah kalian putra-putra Hastina yang tersohor
itu? Aku kira kau memiliki sifat gagah berani seperti leluhurmu, Bharata.
Apakah kesatria terhormat seperti Bhisma Dewabrata tidak mengajarimu keberanian
sebagai seorang kesatria? atau ayahmu tidak membekalimu?”
Kata-kata Narasoma sangat merendahkan di depan khalayak
ramai, membuat telinga Pandu menjadi panas. Terlebih Destarata, kakak Pandu
yang tunanetra itu giginya gemeretakan menahan marah. Diam-diam Destarata
merapal aji Kumbalageni, namun Widura membisikinya, agar sang kakak bisa
menahan emosi.
"Apakah kau
membiarkan orang lain menghina leluhur kita, Pandu?" berkata sang
Destarata kepada adiknya, hingga akhirnya Pandu Dewanata menyanggupi tantangan
Narasoma.
"Aku tidak pernah
menolak tantangan, Narasoma! Jika itu yang menjadi pertaruhanmu, aku tidak
menolak!"
Masih disaksikan oleh ribuan rakyat Mandura, para kesatria
dan juga raja-raja mancanegara, sayembara kembali digelar. Pandu Dewanata berdiri
di tengah gelanggang, gendewa dan anak panahnya telah siap dalam genggaman.
Tatkala sangkar besi mulai diputar kencang, Pandu membidik sasarannya. Panah
melesat cepat mengarah sasaran, begitu kuatnya tenaga yang mendorong anak panah
hingga sangkar besi terlepas dari tiang pancang. Semua yang hadir tercengang
dan berdecak kagum. Pandu tidak hanya mampu melakukan seperti yang dilakukan
Narasoma, lebih dari itu, selain panah Pandu mampu menyusup jari-jari besi dan
menembus seekor burung di dalam sangkarnya, ia pun sekaligus mampu menjatuhkan
sangkarnya. Sorak sorai terdengar mengumandang, memuji kehebatan Pandu
Dewanata.
Narasoma tidak menyangka Pandu mampu melakukannya, dan
dengan sangat malu Narasoma akhirnya menyerahkan Kunthi Nalibrata kepada Pandu,
ia kemudian pergi meninggalkan Mandura. Kini Dewi Kunti telah menjadi milik
Pandu Dewanata. Prabu Basukunti merasa sangat senang, tidak disangka akhirnya
ia akan berbesan dan menjalin kekerabatan dengan Hastinapura. Keesokan harinya,
setelah mendapat restu dari Prabu Basukunti, Pandu Dewanata memboyong dewi Kunthi
untuk dibawa ke Hastinapura.
Saat menuju perjalanan pulang, di tengah perjalanan, masih
dalam wilayah negara Mandura, rombongan Pandu Dewanata terhenti. Pandu
menghentikan laju kereta kencananya ketika di hadapanya telah menghadang
seorang kesatria penunggang kuda. Kesatria itu tidak lain adalah Narasoma.
Ternyata putra Prabu Mandrapati tidak benar-benar meninggalkan Mandura, ia
tidak langsung pulang ke Mandaraka. Setelah kemarin meninggalkan gelanggang
sayembara, di tengah perjalanan pulang, Narasoma merasa bimbang. Ia teringat
ayahandanya, Prabu Mandrapati yang sedang terbaring sakit. Apa yang akan ia
katakan di hadapan ayahandanya nanti. Apakah ia harus bercerita dusta dengan
mengatakan ia kalah dalam pertandingan sayembara? Atau menceritakan terus
terang bahwa kemenangannya telah digadaikan untuk sebuah pertaruhan? Semua itu
hanya akan memperparah sakit ayahandanya, maka dari itu Narasoma memutuskan
untuk tidak langsung pulang ke Mandaraka, ia berbalik arah menghadang Pandu.
"Kenapa kau menghadang perjalananku, Narasoma?"
"Pertaruhan kemarin kurang menguntungkan buatku, Pandu.
Aku ingin kau mengulang kembali pertaruhan itu. Kita tanding jurit! Jika aku
yang menang, maka kau serahkan kembali Dewi Kunti kepadaku, tapi jika aku yang
kalah, aku akan menyerahkan adiku, Dewi Madrim kepadamu."
"Silahkan, kau yang memulai Narasoma..."
Keduanya lalu terlibat perang tanding. Narasoma menggempur
Pandu dengan serangan yang begitu mematikan, dan Pandu mengimbanginya.
Pertempuran mereka sangat seimbang, sama-sama digjaya, sama-sama menguasai ilmu
kanuragan, dan senjata. Terkadang Pandu Dewanata terdesak oleh serangan
Narasoma yang dilancarkan secara bertubi-tubi, begitu pula sebaliknya. Narasoma
sempat dibikin kerepotan dengan serangan balik yang dilancarkan Pandu.
Perang semakin menjadi, daya-daya kesaktian mereka memporak
porandakan sekitarnya. Tanah batu berhamburan, pohon-pohon tumbang dan
terbakar. Dan ketika keduanya beradu pukulan sakti, Narasoma terpental jauh dan
jatuh terpelanting. Darah segar menyembur dari mulutnya, dadanya berdenyut
sakit. Saat itu amarahnya kian menjadi, ia pun lalu ingin menjajal kesaktian
Chandrabhirawa. Tapi sesaat ketika Narasoma hendak membaca mantra
Chandrabhirawa, ia teringat pesan mendiang mertuanya, Resi Bhagaspati.
"Narasoma... Aji Candrabhirawa sangat ampuh, namun aji
kesaktian itu akan sangat tidak bertuah jika hanya dipergunakan untuk
mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.
Jaga dan rawatlah Setyawati, kasih sayangilah dia, cintai
dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau sia-siakan dia, walaupun dia
hanya seorang anak gadis gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata
pergaulan kerajaan, tetapi dia anak yang baik, patuh dan sangat setia kepadamu.
Pegang teguh janjimu, Narasoma..."
Kata-kata Resi Bagaspati mengiang di telinganya, seolah sang
resi membisikan langsung kepadanya, mengingatkan sumpahnya. Narasoma sangat
terganggu karenanya, ia mencoba melupakan dan tidak memperdulikan, amarahnya
sudah terlanjur berkobar. Ia segera merapal aji Chandrabirawa. Sekejap, di
hadapannya telah berdiri sosok raksasa cebol dengan seringai taring yang
terlihat menyeramkan.
"Chandrabirawa! Binasakan musuhku!"
Raksasa Chandrabirawa segera melaksanakan perintah tuannya,
ia menyerang Pandu secara membabi buta. Mendapat serangan demikian, Pandu
segera mengeluarkan pusaka Chandrasa.
Cras! Cras! Cras!
Beberapa kali pusaka Pandu melukai tubuh Chandrabirawa.
Darah bercipratan keluar dari tubuh Chandrabirawa. Ajaib! setiap percik darah
yang membasahi tanah bebatuan dan rerumputan berubah wujud menjadi raksasa
cebol yang bentuk dan rupanya sama persis dengan Chandrabirawa. Tanpa
diperintah, raksasa-raksasa jelmaan itu menyerang Pandu secara serentak. Pandu
terkejut melihat keanehan yang terjadi pada musuhnya, beberapa kali ia mencoba
membinasakan raksasa-raksasa jelmaan Chandrabirawa dengan pusakanya, tapi
Chandrabirawa justru semakin banyak jumlahnya. Pandu menjadi kerepotan
menghadapi musuh yang bertambah banyak jumlahnya, ia hanya berkelit, menangkis,
dan menghindari serangan, ia tidak lagi melukai raksasa jejadian Chandrabirawa
karena akan semakin bertambah banyak.
"Duuh... ayahanda Resi Abyasa... ayahanda Bhisma...
putramu keteteran menghadapi musuh-musuh ini..."
Pandu membatin. Ia merasa putus asa menghadapi
Chandrabirawa. Dan pada saat-saat yang kritis, Pandu mendapat bisikan ghaib
dari ayahandanya, Resi Abyasa. Pandu dititah melakukan hening cipta, memusatkan
segala nafsu murni dengan berpasrah diri kepada Yang Maha Tunggal.
Raksasa-raksasa Chandrabirawa kebingungan ketika melihat
musuhnya tidak melakukan apa-apa, diam tak bergerak. Naluri mereka pun
mengisyaratkan seperti tidak ada nafsu pada diri seseorang yang menjadi
lawannya. Dalam keadaan seperti itulah secara serta merta raksasa-raksasa
Chandrabirawa berkurang jumlahnya, terus dan terus berkurang hingga kembali
menjadi satu wujud Chandrabirawa.
Chandrabirawa melesat kembali masuk ke dalam gua garba
Narasoma. Candrabhirawa berkata kepada Narasoma agar tidak mempergunakannya
melawan orang-orang yang tidak memiliki nafsu angkara. Pandu tidak
menyia-nyiakan kesempatan, ia segera menerjang Narasoma yang sedang dalam
kebingungan. Putra Mandaraka terbanting dan jatuh terkapar saat pukulan-pukulan
Pandu beruntun menghantam dirinya, dan ketika Narasoma tertaih mencoba bangun,
ujung pusaka Pandu telah mengancam di hadapannya. Akhirnya Narasoma menyerah,
dan berjanji akan memboyong Dewi Madrim ke Hastinapura.
Pandu beserta rombongan kembali melakukan perjalanan pulang
ke Hastinapura. Di tengah perjalanan ia kembali dihadang. Kali ini yang
menghadangnya adalah Harya Suman, putra Prabu Suwala dari negeri Gandhara.
Harya Suman yang juga telah terlambat mengikuti sayembara segera mengejar
perjalanan Pandu Dewanata.
Harya Suman dan Pandu kemudian terlibat perang tanding,
tetapi pertarungan itu tidak memakan waktu cukup lama. Putra mahkota Gandhara
bukanlah lawan tanding yang tangguh bagi Pandu, dengan mudah Pandu dapat
membuat Harya Suman tidak berdaya. Harya Suman menyerah dan berjanji akan
memboyong kakaknya, Dewi Gandhari ke Hastinapura.
"Aku pegang janjimu, jika kau berdusta, maka
Hastinapura akan meluluh lantakan negerimu!"
Hastinapura mendapatkan tiga putri boyongan, Dewi Kunti dari
negara Mandura, Dewi Madrim dari negara Mandaraka, dan Dewi Ghandari dari
negara Gandhara. Ketiga putri tersebut awalnya akan dipasangkan dengan
Destarata, Pandu Dewanata, dan Widura, akan tetapi Widura menolak. Ia beralasan
ketiga putri tersebut usianya tidak sepadan dengan dirinya, maka Widura
memberikan haknya kepada Pandu, karena Pandu yang telah banyak berjasa dalam
memenangkan sayembara.
Untuk menghargai Destarata sebagai putra tertua, Pandu
memberi kesempatan kakaknya memilih satu diantara ketiga putri tersebut. Dalam
hati ketiga putri itu sendiri sebenarnya mereka menolak dijodohkan dengan
Destarata yang tunanetra, apalagi tahta Hastina akan diwariskan kepada Pandu
Dewanata, maka ketiganya memanjatkan doa agar tidak terpilih oleh Destarata.
Dewi Gandhari dengan dibantu adiknya, Harya Suman mencoba
membaluri tubuhnya dengan bau hanyir ikan dengan maksud agar dirinya tidak
terpilih oleh Destarata. Tetapi, Destarata yang selalu menggunakan naluri,
menggunakan indra penciumannya dalam memilih, saat ia mencium bau hanyir ikan
yang berasal dari tubuh Gandhari, bau hanyir itu justru mengingatkannya pada
panggang ikan yang menjadi makanan kesukaannya, maka Destarata memutuskan jatuh
pilihannya kepada Dewi Gandhari.
Pandu Dewanata kemudian naik tahta menjadi raja Hastinapura
menggantikan Prabu Resi Abyasa yang mandita di Wukir Retawu. Ia memiliki dua
permaisuri yaitu, Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Kelak dari rahim kedua putri
tersebut akan lahir kesatria-kesatria utama, Pandawa Lima. Dari dewi Kunti akan
lahir Yudhistira, Bima, dan Arjuna, sedangkan dari rahim Dewi Madrim lahir
Nakula dan Sadewa. Sementara, Narasoma sendiri telah dinobatkan
menjadi raja menggantikan ayahandanya, Prabu Mandrapati yang telah meninggal
setelah mendengar kegagalan putranya dalam merebut sayembara. Narasoma menjadi
raja Mandaraka dengan gelar Prabu Salyapati. Dari rahim Pujawati, Narasoma dianugerahi
lima orang anak, yaitu; Dewi Erawati (kelak menjadi istri Baladewa), Dewi
Surtikanti (kelak menjadi istri Basukarna), Dewi Banowati (kelak menjadi istri
Duryudhana), Bhurisrawa, dan Rukmarata. Hanya saja, salah satu putra
Narasoma/Prabu Salya yang bernama Bhurisrawa berwajah buruk seperti raksasa.
Ini dikarenakan dahulu Narasoma merasa jijik mempunyai mertua seorang raksasa.
sumber: media wayang Indonesia