Senin, 05 September 2016

Prabu Duryudhana Raja Hastinapura

Lahirnya Kurawa (versi Jawa)

Destarastra adalah seorang kakak dari Pandu Dewanata, Destarastra memiliki kekurangan kekurangan yakni tidak dapat melihat (yang memiliki aji kumbalageni). Namun, itu sama sekali tidak mengurangi rasa hormat Pandu Dewanata kepada kakaknya tersebut. Karena saking hormatnya ia kepada kakaknya, Pandu Dewanata membawa 3 putri yang nantinya salah satu dari mereka akan dipersunting Destarastra.
3 (tiga) putri tersebut yakni:
1.    Dewi Kunthi,
2.    Dewi Madrim,
3.    Dewi Gendari.
Akhirnya, Destarastra memilih Dewi Gendari untuk dijadikan istrinya. Dewi Gendari merasa kecewa. Seharusnya putri cantik sepertinya menjadi istri Pandu Dewanata, bukan Destarastra yang buta itu. Dalam hati ia bersumpah bahwa anak keturunannya dengan Destarastra tidak akan pernah akur dengan anak keturunan Pandu Dewanata.
Tak lama, Dewi Gendari hamil. Namun, Destarastra merasa sangat bersedih hati, Kesedihan mereka disebabkan kandungan Dewi Gendari yang telah mencapai usia tiga tahun lamanya. Walau telah mencapai 1000 hari lebih, melampaui batas kenormalan usia hamil, akan tetapi belum juga ada tanda-tanda akan melahirkan si jabang bayi.
Selama mengandung, angan-angan Dewi Gendari tak pernah lepas dari rasa dendam dan sakit hati kepada Pandu Dewanata. Ambisi untuk menumpas keturunan sang pandu sebagai pelampiasan dendam sakit hatinya selalu tak pernah lupa diucapkan dalam permohonan do’a Dewi Gendari kepada Dewata. Akan tetapi saat itu belum juga ada dampak terkabulnya do’a permintaan isteri adipati negara Ngastinapura ini. Pagi, siang, sore hingga malam hari, hatinya senantiasa dirundung perasaan resah gelisah, gundah gulana. dan bahkan hampir putus asa, Mengingat antara apa yang menjadi cita-cita dendam hatinya, maupun ingat akan kandungannya yang telah melampaui kenormalan itu, sama sekali belum membawa hasil seperti apa yang diharapkannya.
Pendek kata, selama masa kehamilan, Dewi Gendari tak pernah memiliki ketentraman di hati. Apalagi setelah mengetahui Dewi Kunthi, permaisuri Pandu telah melahirkan puteranya yang pertama, yang diberi nama Raden Puntadewa atau juga disebut Raden Wijakangka. bahkan Dewi Kunthi kini telah dan hampir melahirkan puteranya yang kedua. Kecemasan serta seribu satu macam perasaan gelisah dan tidak enak terkandung dalam hati Dewi Gendari ini semakin menjadi-jadi.
Ketidak menentuan perasaan hati Dewi Gendari yang sedang berbadan dua itu, mengakibatkan tubuhnya terasa gerah dan tidak betah tinggal dalam bangsal Kaputren. Dewi Gendari kemudian melangkahkan kakinya, dengan langkah-langkah gontai menuruni tangga pualam di bangsalnya menulusuri jalan setapak di antara hijaunya rerumputan, menuju ke taman sari kerajaan Ngastinapura yang luas dan asri, diikuti oleh empat orang emban sebagai abdi pengiringnya. Kala itu surya telah condong ke barat, saat Dewi Gendari beserta empat orang abdinya menelusuri jalan setapak yang terbuat dari pualam, diantara semerbak harum aneka bunga, serta rimbunnya pohon buah-buahan yang menghiasi taman kerajaan, gerbang-gerbang sebagai batas bagian-bagian taman yang luas itu, pandangan matanya yang sayu lurus memandang ke depan seakan-akan tak peduli dengan segala keindahan taman di sekelilingnya. Tak lama kemudian Dewi Gendari telah melalui gerbang taman yang ke tujuh dan merupakan bagian taman yang terakhir.
Dalam bagian taman ini berisi aneka macam binatang buas maupun jinak serta beragam unggas sebaga hiasannya, tak ubahnya seperti isi kebun binatang layaknya namun tampak terawat bersih dan rapi. Di tengah petamanan margasatwa ini terdapat sebuah kolam besar yang terbuat dari batu pualam dengan dihiasi kelompok bunga teratai nan mekar dengan indahnya. ikan-ikan yang berwarna-warni berlari berpasangan berkejar-kejaran d bawah warna biru jernihnya air. tanpa sepengetahuan Dewi Gendari bahwa kedatangannya di taman satwa itu, telah membuat seluruh binatang buas yang ada di taman menjadi beringas, sementara binatang yang jinak serta unggas seperti gelisah dan ketakutan, semua ini merupakan firasat buruk.
Hembusan angin keras membuyarkan lamunan Dewi Gendari, mengetahui cuaca buruk, Dewi Gendari mengajak para emban kembali ke kaputren. Langkah Dewi Gendari semakin dipercepat karena renai gerimis telah mulai turun. Tiba tiba saja Dewi Gendari yang sedang mengandung ini tersentak kaget saat mendengar suara harimau mengaum begitu keras. Karena rasa kaget yang teramat sangat tubuh Dewi Gendari gemetar, wajah pucat, tak terasa Dewi Gendari telah melahirkan di tempat di mana ia berdiri, yaitu bebrapa jengkal sebelum mencapai gerbang kaputren tempat tinggalnya. Dewi Gendari bukan melahirkan bayi sehat dan mungil, melainkan adalah segumpal daging yang bercampur darah mengental, berwarna merah kehitam-hitaman, daging yang baru lahir dari rahim Dewi Gendari itu bergerak-gerak serta berdenyut-denyut seakan-akan bernyawa.
Setelah melihat dan mengetahui hal ini, bukan main marah Dewi Gendari, karena emosinya gumpalan daging itu diinjak injah hingga terpecah belah, lalu ditendang-tendang dengan kakinya ke arah yang tak menentu, pecahan serta serpihan daging yang dilahirkan Dewi Gendari tercerai berai berserakan di atas rerumputan taman. Dewi Gendari merasa emosi, geram dan marah. Setelah itu ia pun menjerit dan mengangis histeris, lalu pingsan. Setelah itu ia lalu dibawa masuk ke Kaputren tempat kediamannya. Anehnya, setiap serpihan daging yang berserakan itu besar atau kecil tetap berdenyut dan bergerak-gerak.
Atas nasehat Begawan Abiyasa yang telah datang secara gaib dari pertapaannya, meminta agar Destarasta memerintahkan para abdinya untuk menutupi setiap serpihan daging itu dengan daun jati.
Dengan was-was serta perasaan takut yang tertahan, maka para emban serta beberapa orang prajurit penjaga taman melaksanakan tugas yang diperintahkan Destarastra, menutupi serpihan daging itu dengan daun jati, jumlahnya mencapai 100 keping. Bersamaan dengan kejadian itu, suasana taman di Ngastinapura berubah menjadi sangat menyeramkan. Binatang buas mengeluarkan suaranya, disusul dengan lolongan anjing hutan yang berkepanjangan bersahutan, burung hantu, kelelawar, burung gagak serta binatang malam lainnya. Binatang-binatang yang lelolongnya tak kunjung berhenti, suasana seram dan menakutkan meliputi Ngastinapura. Banyak para emban dan prajurit penjaga malam ketakutan, wajahnya pucat, badannya menggigil, merinding bulu romanya.
Dewi Gendari yang telah siuman dari pingsannya turun dari tempat peraduannya menuju tempat pemujaan, ia memohon kepada dewa, agar cita-citanya untuk berputera banyak, bisa terkabul. tiba-tiba saja Batari Durga muncul secara gaib dan memberitahukan, apabila lewat tengah malam mendengar tangisan bayi di taman, Dewi Gendari agar cepat-cepat menghampiri bayi tersebut, karena itu adalah puteranya. setelah memberikan pesan Batari Durgapun menghilang dari hadapan Dewi Gendari secara gaib, kembali ke khayangan di wukir perdikan.
Dan benar saja, saat terdengar tangisan, Dewi Gendari segera menuju ke taman. Dan betapa terkejutnya ia saat ia melihat ada 100 bayi di sana.
Seluruh isi kerajaan bahagia mendengar berita tersebut.
Para Korawa (putera Dretarastra) yang utama berjumlah seratus, namun mereka masih mempunyai  saudara dan saudari pula. Kemudian dari Dewi Gandari, lahir seorang putra lagi bernama Duskampana dan seorang putri bernama Dursala.
Dretarastra mempunyai anak dengan seorang wanita dari kasta waisya, yang dinamakan Yuyutsu. Nama Yuyutsu dalam bahasa Sanskerta artinya ialah “yang memiliki kemauan untuk berperang/ bertempur”.
Berbeda dengan para Korawa pada umumnya, ia tidak berbuat jahat pada para Pandawa, sepupunya. Saat perseteruan antara Pandawa dan Korawa sudah mencapai klimaks, dikeluarkanlah pengumuman untuk berperang. Yuyutsu bergabung di bawah panji-panji pasukan Korawa. Mereka berperang di Kurusetra, India Utara. 
Sesaat sebelum perang di Kurusetra dimulai, Yudistira yang sulung di antara Pandawa maju ke hadapan pasukan Korawa untuk memastikan apakah ada yang berubah pikiran dan mau berpihak kepadanya. Hanya Yuyutsu yang menanggapinya, sehingga ia keluar dari barisan pasukan Korawa dan bergabung dengan pasukan Pandawa. Hal itu membuatnya menjadi penerus garis keturunan Dretarastra, sementara saudaranya yang lain gugur semua di medan perang Kurusetra.

*** Warisan budaya nasional atau warisan budaya daerah adalah cermin tingginya peradaban bangsa

sumber: media seni budaya wayang Indonesia
tofancibitung12@gmail.com








Tidak ada komentar:

Posting Komentar