Kisah Bagaspati, Pujawati dan Narasoma.
Kisah
ini berawal dari seorang resi muda yang telah berhasil membantu para dewa dalam
menumpas kerusuhan bangsa Jin Banujan di kahyangan Suralaya. Tersebutlah
Bambang Anggana Putra dari pertapaan Argabelah, putra kedua Resi Jaladara dari
pertapaan Dewasana dengan dewi Anggini, keturunan Prabu Citragada, raja negara
Magadha. Atas jasa-jasanya itulah Anggana Putra mendapat anugerah dari Batara
Guru, yaitu diperkenankan menikahi salah seorang bidadari kahyangan Maniloka
Di istana Jonggring Salaka, khayangan Suralaya Maniloka,
para dewa sesangga jawata duduk di paseban agung menunggu sabda Raja Triloka.
Sementara di dampar kencana Mercupunda, Sanghyang Tengguru atau juga yang
dikenal dengan nama Sanghyang Manikmaya, Jagatnata, Bathara Guru, bersabda.
"Anggana Putra, sesuai janjiku padamu, atas jasa-jasamu
dalam menumpas kerusuhan di kahyangan Suralaya, maka aku akan menganugerahkanmu
seorang bidadari untuk kau persunting. Pilihlah olehmu salah seorang diantara
para bidadari Maniloka ini".
Mendapatkan anugerah dan penghormatan dari raja Tribuana,
Bambang Anggana Putra sangat suka cita hatinya, ia merasa tersanjung atas
penghormatan yang telah diberikan kadewatan kepadanya, penghormatan dimana ia
diperkenankan bebas memilih sendiri bidadari yang akan dijadikan istrinya.
Bambang Anggana Putra adalah seorang yang berbudi luhur, jujur, dan polos
wataknya, ia salah seorang yang memiliki darah putih, hanya saja dibalik
kepribadian-kepribadiannya yang baik, sebagai manusia tetap ada satu kelemahan
yang dimilikinya, yaitu sifat jenakanya yang terkadang tidak dapat menempatkan
diri, ia sangat suka bersenda gurau yang pada akhirnya menyeret dia pada satu
masalah yang merenggut hari-hari depannya.
"Ampun pukulun... Sungguh hamba sangat bahagia mendapat
anugerah pukulun, seperti yang pukulun tawarkan kepada hamba memilih salah
seorang bidadari Maniloka untuk dipersunting, namun melihat para bidadari
penghuni Maniloka ini yang semuanya berparas jelita membuat hamba tidak mampu
menentukan pilihan, akan tetapi walaupun begitu, sesungguhnya hamba pernah
mengagumi salah seorang diantara mereka".
"Siapakah gerangan Anggana Putra? Aku telah memberimu
kesempatan untukmu”.
"Jika pukulun tidak keberatan, pilihan hamba jatuh pada
dewi Uma, bidadari yang selama ini hamba kagumi".
Seperti ada halilintar menghantam dampar kencana Mercupunda,
tubuh Batara Guru bergetar, mukanya merah padam, hatinya menjadi panas sepanas
kawah Candradimuka. Semua para dewa terkesiap mendengar ucapan Bambang Anggana
Putra.
"Samudra madu kupersembahkan untukmu, namun sebaliknya
kau memberi cawan yang berisi racun kepadaku. Lancang ucapmu, Anggana
Putra". Bathara
Guru tidak dapat menahan amarahnya, ia sangat tersinggung dengan ucapan Anggana
Putra yang telah dianggap menodai kewibawaannya sebagai Raja Tribuana. Betapa
tidak, Dewi Uma adalah Kameswari Suralaya, ia adalah kekasih hati dan
permaisuri Sanghyang Guru sendiri.
Melihat gelagat yang kurang mengenakan, Anggana Putra segera
menjura hormat.
“Ampun pukulun… Maafkan ucapan hamba tadi, sebenarnya hamba
tidak bermaksud menghina kewibawaan paduka, hamba hanya bermaksud bersenda
gurau karena pukulun menyuruh hamba memilih salah seorang bidadari penghuni
Maniloka tanpa pengecualian, maka hamba mengguraui pukulun, sebab dewi Uma
sendiri adalah bidadari penghuni Maniloka. Mohon pukulun memafkan sifat jenaka
hamba”.
Mungkin mudah memadamkan api yang sedang membakar, tetapi
sangat sulit meredakan api kemarahan dalam hati. Kemarahan tidak pernah timbul
tanpa alasan, walau alasan itu tidak selamanya benar. Dan alasan apapun yang
dikatakan Anggana Putra tidak mampu meredam kemarahan Sanghyang Guru.
"Sifatmu sangat tidak terpuji, kau tidak memiliki
tatakrama. Hai putra Jaladara! Kau telah menodai kewibawaanku, sungguh tidak
pantas seorang resi sepertimu memiliki sifat demikian, kau tidak ubahnya
seperti Duruwiksa
(raksasa yang bertabiat biadab)”.
Sekecap sabda Raja Triloka, sabda yang dilambari sir aji
kemayan seketika merubah wujud Bambang Anggana Putra. Sirna kerupawanannya
berubah bentuk menjadi raksasa. Para dewa sesangga jawata geger melihat
perubahan wujud Bambang Anggana Putra.
"Ampun pukulun... Mohon pukulun mempertimbangkan
kesalahan hamba dengan hukuman yang pukulun jatuhkan kepada hamba. Mohon
kembalikan wujud hamba".
Anggana Putra merasa sedih melihat perubahan dirinya.
"Ludah telah dibuang pantang kujilat kembali. Sabdaku
adalah hukum. Pulanglah kau ke pertapaanmu. Sesuai janjiku, aku akan memberikan
seorang bidadari untukmu, tetapi aku akan menunjuk dewi Darmastuti sebagai
istrimu, ia akan menemani hari-harimu di Argabelah, namun kelak jika dewi
Darmastuti melahirkan seorang anak, maka ia akan kembali pulang ke kahyangan”.
Bathara Narada tertegun mendengar sabda Raja Tribuana, ia
sangat prihatin dengan keadaan Bambang Anggana Putra. "Oladalaa... Adi
Guru, tidak cukupkah hukuman yang kau berikan? Setelah wujudnya kau rubah
menjadi raksasa, kebahagiaannya pun kau renggut. Pertimbangkan kebijaksanaanmu.
Jagalah hati dan pikiranmu dari nafsu amarahmu agar sabdamu tidak selalu
bertindak lebih cepat dari pikiranmu”.
Bathara Guru menganggap semuanya sudah terlanjur, tidak
dapat dirubah lagi. Anggana Putra sangat sedih, ia tidak menyangka akan
mendapat hukuman sedemikian rupa. Setelah melakukan penghormatan yang terakhir
kalinya, Anggana Putra lalu pergi meninggalkan kadewatan Suralaya menuju
Argabelah.
Sepeninggalnya Bambang Anggana Putra, ternyata Bathara Guru
masih menyimpan dendam. Diam-diam ia masuk ke dalam perut bumi, menembus Sapta
Pertala (lapisan bumi ketujuh). Disana ia mengambil selongsong kulit
Raja Naga Hyang Antaboga yang mengalami pergantian kulit setiap 1000 tahun
sekali. Dengan kesaktiannya selongsongan kulit Raja Naga itu dicipta menjadi
Taksaka (naga) yang sangat sakti mandraguna. Saktinya Taksaka karena Bathara
Guru telah memasukan sukma Candrabhirawa yang telah ditangkapnya saat
melayang-layang mencari penitisan. Taksaka lalu dititahnya untuk menghadang
perjalanan Bambang Anggana Putra dengan maksud membinasakannya. Taksaka segera
melesat secepat kilat tatit menyusuri lapisan-lapisan bumi, mengejar Bambang
Anggana Putra.
Tidak berapa lama ketika Anggana Putra masih melayang di
udara hendak dalam perjalanan pulang, Taksaka yang memiliki kecepatan luar
biasa telah sampai mengejarnya, ia melesat cepat keluar dari dasar bumi dan
segera menyergap tubuh Bambang Anggana Putra. Tubuh Anggana Putra diterkam dan
dibanting dari atas udara. Anggana Putra luruh jatuh menghantam bumi,
menghancurkan bebatuan cadas gunung. Tidak sampai disitu, Takasaka kembali
memburu Anggana Putra yang saat itu segera bangkit. Secepat tatit Taksaka
kembali menyerangnya dengan menyemburkan wisa upas (racun) dan api yang keluar dari mulutnya. Api berkobar diseantero
pertarungan mereka, wisa upas melepuh meleburkan batu-batu dan tanah yang
terkena semburannya. Akan tetapi, racun-racun itu tidak mampu mematikan tubuh
Anggana Putra, apipun tidak mampu membakarnya. Bambang Anggana Putra digjaya,
tubuhnya tidak cidera sama sekali.
Perang tanding Anggana Putra melawan Taksaka berlangsung
hebat. Beberapa kali Taksaka melilit tubuh Anggana Putra dan hendak menghancur
luluhkan tulang-tulangnya, tapi tubuh raksasa itu seperti memiliki kekuatan
yang melebihi pasukan gajah Erawati. Hingga pada akhirnya, sang Taksaka tidak
mampu menandingi kesaktian Anggana Putra. Taksaka ditangkap, mulutnya dirobek hingga
kepalanya terbelah menjadi dua. Lenyap wujud Taksaka tanpa bekas, berubah
menjadi sosok raksasa.
Raksasa jelmaan Taksaka itu merangsak maju menyerang Anggana
Putra. Dua raksasa mengadu kesaktian, mengadu kedigjayaan, saling pukul, saling
dorong, dan saling banting. Untuk beberapa saat pertempuran diantara keduanya
seperti seimbang, sama-sama tangkas dan cekatan, namun namun pada satu
kesempatan putra Resi Jaladara itu berhasil melukai dan membunuh musuhnya.
Ajaib! Setiap tetes darah yang keluar dari tubuh raksasa jelmaan Taksaka, dari
setiap darahnya yang membasahi rerumputan, bebatuan, dan benda apapun akan
berubah wujud menjadi raksasa yang besar dan bentuknya sangat sama satu antara
lainnya. Belum habis rasa heran Anggana Putra, raksasa-raksasa itu menyerangnya.
Anggana Putra dikepung, dikeroyok, dan diserang dari segala penjuru. Anggana
Putra berusaha melawan, akan tetapi setiap ia mampu melukai dan membunuh
raksasa-raksasa itu, maka tetesan darah mereka berubah menjadi raksasa. Semakin
banyak raksasa itu terlukai, maka tetesan darahnya menjadi raksasa yang
jumlahnya kian bertambah banyak dari sebelumnya, mati satu tumbuh seribu.
Karena merasa terdesak, Anggana Putra segera melompat jauh menghindari kepungan
bala raksasa. Dari tempat yang jauh Anggan Putra segera melakukan meditasi,
mengheningkan cipta, merapatkan kedua tangannya menguncupkan seluruh panca
indranya, sidakep sinuku tunggal. Melalui wisik ghaib yang diterimanya, Anggana
Putra diharuskan tidak melawan, meredam segala nafsunya, menyatukan cipta dan
rasa, menunjukan jati dirinya sebagai seorang yang mengalir dalam tubuhnya
darah putih. Semilir angin berhembus halus keluar dari setiap lubang tubuhnya,
memancar cahaya putih dari tubuhnya, tubuh Anggana Putra murub ngebyar
memancarkan cahaya. Saat raksasa-raksasa mengejar, dan mulai berdatangan
mendekat, seketika raksasa-raksasa itu sirna melebur menjadi satu, sirna wujud
berubah menjadi cahaya. "Bopo resi,
ampun bopo resi… Aku, Candrabhirawa tidak sanggup melawanmu karena engkau
adalah seorang yang dialiri darah putih, untuk itu perkenankan aku mengabdi
kepadamu bopo resi... Jika kau membutuhkan aku panggilah aku, Candrabhirawa."
Sekelebat cahaya Candrabhirawa merasuk menyusup ke gua
garba, meraga sukma menjadi satu dengan Bambang Anggana Putra. Demikian
Candrabhirawa akan mengabdi kepada manusia berdarah putih, seperti sebelumnya
di jaman Arjuna Sasrabahu, ia mengabdi kepada Sukasrana, dan kini ia kembali
mengabdi kepada seorang berdarah putih, Anggana Putra titisan Sukasrana.
Hari-hari selanjutnya, sesuai janji Sanghyang Otipati, dewi
Darmastuti turun dari khayangan. Sang dewi kemudian diperistri oleh Bambang
Anggana Putra, mereka hidup rukun saling mengasihi dan menyayangi. Walau bentuk
dan rupa Bambang Anggana Putra kini adalah sosok seorang raksasa, tetapi dewi
Darmastuti sangat menyintainya, sangat patuh dan berbakti kepada suaminya.
Mahligai cinta diantara mereka kian tumbuh merekah seperti mekarnya bunga
hingga benih-benih cinta itu kemudian berbuah melahirkan seorang anak.
Anggana Putra dan dewi Darmastuti merasa bahagia karena
cinta mereka telah melahirkan seorang putri jelita yang kecantikannya telah
mewarisi kecantikan ibunya. Namun kebahagiaan mereka berangsur surut ketika
teringat sabda Bathara Guru, bahwa kelak sang dewi akan kembali pulang ke khayangan
setelah ia melahirkan seorang anak. Anggana Putra sangat sedih karena ia akan
kehilangan istri yang sangat dicintai, begitu pun dengan dewi Darmastuti yang
harus meninggalkan bayi kecilnya. Kebahagiaan mereka seperti direnggut paksa, direnggut
oleh sebuah dendam, dendam yang tak kunjung padam.
Hari-hari dilalui Anggana Putra bersama putri kecilnya,
Pujawati. Ia membesarkan Pujawati dengan cinta dan kasih. Keteguhan hatinya
membuat para dewa dewi penghuni kahyangan merasa terharu, kecuali Sanghyang
Guru yang masih menaruh dendam kepadanya. Oleh sebab itu Bathara Narada
menamakannya Bagaspati yang berarti matahari. Matahari yang bersinar terhadap
bumi. Begitulah Bagaspati kepada putrinya, ia menyinari, menumbuh kembangkan
semangat, memberikan penghidupan serta melindungi dengan penuh kasih sayang.
Mandaraka
Tersebutlah sebuah kerajaan Mandaraka, negeri nan gemah
ripah loh jinawi, subur makmur tata tentrem kerta raharja. Negeri Mandaraka
dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Mandrapati dengan
permaisurinya Dewi Tejawati. Prabu Mandrapati memiliki dua orang anak yang
pertama seorang putra bernama Raden Bambang Narasoma, dan yang
kedua adalah seorang putri bernama Dewi Madrim.
Alkisah Prabu Mandrapati mengundang putranya, Bambang Narasoma
untuk membicarakan masalah pernikahan putranya. Sudah sangat lama sang prabu
memendam rasa mengidam-idamkan seorang cucu dari putra mahkotanya, namun hingga
sampai saat itu Narasoma masih juga belum berkeinginan untuk membina rumah
tangga. Walau sang prabu sudah sering membujuknya, bahkan menawarkan perjodohan
dengan putri-putri anak raja dan bangsawan yang menjadi sahabatnya, tetapi
Narasoma selalu menolak secara halus.
"Ayahanda prabu, bukannya ananda menolak maksud baik
ayahanda, bukan pula ananda tidak berkeinginan untuk menikah, tetapi sampai
saat ini ananda masih belum menemukan seorang wanita yang sangat ananda
idam-idamkan, yaitu seorang wanita yang mirip seperti ibunda ratu”.
Ungkapan Narasoma membuat Prabu Mandrapati tersentak kaget,
ia menganggap putranya telah durhaka karena menyukai ibunya sendiri, padahal
sebenarnya maksud Narasoma adalah kemiripan kepribadiannya, sifat-sifatnya,
lemah lembut, kasih sayang terhadap anak dan setia kepada suami, hanya saja
tatkala ungkapan hati Narasoma belum tuntas diutarakan Prabu Mandrapati sudah
menuduhnya yang bukan-bukan dengan disertai amarah terlebih dahulu. Karena
murkanya, Prabu Mandrapati mengusir Narasoma dari istana. Ia tidak
memperkenankan putranya pulang sebelum mendapatkan seorang wanita untuk dijadikan
permaisuri.
Sebenarnya Narasoma adalah anak yang baik, berbakti kepada
orangtua. Dalam kesehariannya, ia sangat dekat dengan ibu dan adiknya,
bercengkerama dengan mereka, dan lebih banyak mencurahkan perasaan hatinya
kepada mereka, maka dari itu Narasoma sangat menyayangi ibu dan adiknya. Kepada
mereka Narasoma berjanji akan pulang kembali ke Mandaraka setelah nanti
mendapatkan wanita yang menjadi dambaan hatinya. Sebelum pergi meninggalkan
istana, Narasoma sempat menjenguk ibu dan adiknya di wisma Mandaraka, ia
menceritakan semua kesalah pahaman ayahandanya. Dewi Tejawati dan dewi Madrim
sangat prihatin, sebab mereka sangat memahami apa yang dimaksudkan oleh
Narasoma.
Dalam pengembaraannya ada banyak hal yang ditemui di luar
istana. Ia begitu merasa bebas seperti burung yang terbang sesuka hati, tanpa
ada aturan-aturan istana yang dirasakannya sangat membelenggu dan membatasi
dirinya dengan dunia luar. Dari sini ia dapat melatih diri dan mencari
pengalaman baru, mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan dari alam
lingkungan sekitar yang dipijaknya sebagai gudang dari segala ilmu, agar kelak
dirinya menjadi lebih matang sebelum dinobatkan menjadi seorang raja.
Kita
tinggalkan sejenak perjalanan pengembaraan Narasoma, beralih kepada Resi
Bagaspati bersama putri tercintanya, dewi Pujawati.
Sementara waktu berputar digaris edarnya, di pertapaan
Argabelah, Pujawati telah tumbuh menjadi gadis dewasa, wajahnya cantik jelita
tidak berbeda dengan para bidadari hapsari penghuni kahyangan Maniloka. Tidak
sia-sia Bagaspati mencurahkan seluruh kasih sayangnya terhadap Pujawati, sebab
ia tumbuh menjadi anak yang baik, berbakti dan sangat patuh kepada ayahnya.
Suatu hari Pujawati bermimpi dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan seorang
kesatria tampan yang mampu merebut simpatiknya. Mimpi itu kerap terjadi
berulang-ulang membuat Pujawati jatuh rindu. Ada harapan tumbuh di dalam hati,
dara jelita penghuni hutan Argabelah ini mendamba cinta, hingga hari-harinya
larut dalam lamunan. Melihat putri tercinta sering melamun seorang diri,
Bagaspati menjadi sangat prihatin. Apakah Pujawati merindukan ibunya? Sungguh
malang nasib si buah hati jika benar-benar sangat merindukan pertemuan dengan
ibunya, dari kecil ia tidak pernah melihat paras ayu ibunya, ia hanya mendengar
dongeng dan dongeng kisah ibunya sebelum tertidur, sambil mendekap erat
golek-golek kayu akar pohon, memejamkan kedua mata indahnya, dan lalu menggapai
mimpi-mimpi indahnya bersama putri raja dan pangeran. Begitu yang tersirat
dalam pikiran Resi Bagaspati.
"Putriku Pujawati, ada apakah gerangan yang mengganggu
hati dan pikiranmu sehingga beberapa hari ini bopo sering melihamu melamun?
Katakanlah putriku. Bopo sangat sedih jika melihatmu seperti itu. Apakah kau
merindukan ibumu?"
Pujawati menggeleng pelan. "Ananda tidak sedang
merindukan ibu, bopo resi. Ananda tahu, mungkin ananda tidak akan pernah dapat
bertemu dengannya, seperti yang pernah bopo ceritakan. Ananda pun telah
merelakannya. Bagi ananda, bopo resi sudah lebih dari cukup mewakili kasih
sayangnya."
"Lalu apa yang menjadi rasa gundahmu, putriku?"
Pujawati yang lugu, akhirnya berterus terang. Ia
menceritakan segala ihwal mimpinya, mimpi bertemu dengan seorang lesatria yang
mengaku bernama Narasoma dari negeri Mandaraka, kini kesatria itu telah
mengganggu relung-relung hatinya. Bagaspati terharu tapi juga bahagia mendengar
ungkapan sang putri, tidak disangka walau ia hanya seorang gadis gunung,
hidupnya di tengah hutan belantara, namun di hatinya telah tumbuh cinta,
lumrahnya seorang manusia normal. Walau Pujawati merindukan pangeran yang hadir
lewat bunga-bunga tidurnya, Bagaspati yakin itu adalah takdir perjodohan yang
telah digariskan. Bagaspati berjanji kepada putrinya untuk mencari kesatria
itu, di ujung dunia pun akan ia cari dan akan dibawanya pulang untuk
dipersembahkan kepada sang putri.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah sekian beberapa hari
Bagaspati melayang-layang di udara mencari sosok kesatria yang digambarkan oleh
putrinya, kini pencarian itu membuahkan hasil. Bagaspati bertemu dengan Narasoma
dalam sebuah perjalanan pengembaraannya. Bagaspati menceritakan ihwal mimpi
putrinya kepada Narasoma, dan menyimpulkan bahwa mimpi itu mungkin saja telah
menjadi takdir perjodohan diantara mereka. Sang resi mengajak Narasoma untuk
ikut ke pertapaan Argabelah. Di atas punggung kudanya dengan jumawa putra
Mandaraka menolak.
“Cuih! Siapa sudi menikah dengan raksasa!”
Bagaspati meyakinkan bahwa putrinya sangat cantik jelita,
sebab ia adalah keturunan seorang bidadari hapsari, ibunya adalah seorang dewi
dari kahyangan. Akan tetapi semua ucapan Bagaspati sedikit pun tidak membuat
Narasoma percaya, siapapun tidak akan percaya seorang raksasa mempunyai anak
seorang putri cantik jelita, begitu pikirnya. Tetapi karena Bagaspati terus
menerus mendesak agar dirinya ikut serta ke Argabelah, dan hal tersebut
dianggap sebagai paksaan, maka Narasoma menjadi marah. Siang itu cuaca sangat
cerah. Matahari memancarkan sinarnya tatkala putra Mandaraka melepaskan
panah-panah saktinya. Panah-panah itu berdesingan menghujani tubuh Bagaspati.
Sang resi tidak bergeming dari tempatnya berdiri, ia membiarkan anak-anak panah
itu mengenai sasarannya dengan tepat.
Trak! Trak!
Tidak satupun panah Narasoma mampu menembus kulit tubuh
Bagaspati. Narasoma semakin marah, menganggap raksasa dihadapannya sedang
memamerkan ilmu kekebalan, maka dengan sigap ia melayang dari atas kudanya,
menerjang Resi Bagaspati. Pertempuran terjadi cukup hebat, Narasoma cukup
mumpuni dalam hal kanuragan, ia seorang kesatria pilih tanding yang cukup
disegani diantara kesatria-kesatria negara sahabatnya. Akan tetapi Bagaspati
tidak melayaninya dengan sungguh-sungguh, karena ia tidak ingin Narasoma yang
menjadi pujaan hati putrinya terluka. Setelah cukup bagi Bagaspati untuk
menguji calon menantunya ini, ia pun segera mengakhiri pertarungan, dengan
pukulan sakti ajian ginengnya, ia melumpuhkan Narasoma. Putra Mandaraka
terkulai lemah tidak berdaya hingga Bagaspati memanggulnya dan membawanya ke
pertapaan Argabelah.
Sesampainya di Argabelah, setelah Narasoma tersadar dari
pinsannya terkesima melihat kecantikan dewi Pujawati, tidak dapat ditolak suara
hatinya, bahwa ia pun jatuh cinta kepada putri Bagaspati. Mereka berdua lalu
dinikahkan oleh Bagaspati. Berhari-hari Narasoma sementara itu tinggal di
pertapaan Argabelah mengarungi lautan madu bersama Pujawati, istrinya yang
sangat dicintai. Entah kenapa, walau hati Narasoma terasa berbunga-bunga
mendapatkan seorang istri yang selama ini menjadi idamannya, tetapi hati
kecilnya yang lain merasa gelisah, ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Kenapa
setiap kali berdekatan dengan ayah mertuanya, ia merasa risih dan tidak betah.
Dan jika ayah mertuanya menanyakan kapan Narasoma akan memboyong pulang
Pujawati ke Mandaraka, Narasoma selalu mengelak, ia selalu beralasan masih ingin
menikmati hidupnya di pegunungan Argabelah. Begitulah, setiap hari Narasoma
pergi berburu menghindari Bagaspati, paling tidak agar dalam sehari-harinya ia
tidak selalu berlama-lama bersanding dengan ayah mertuanya. Siang hari ia
berburu, malamnya baru pulang. Sebenarnya Pujawati merasa sangat kesepian,
karena ia masih ingin bercengkrama, bersenda gurau dan berkasih mesra menikmati
siang hari yang indah di bukit nan penuh bunga, di pegunungan Argabelah.
Begitupun yang dirasakan Bagaspati. Sang resi sangat prihatin dengan sikap
menantunya yang sering meninggalkan putrinya seorang diri, karena hari-hari itu
seharusnya milik mereka, hari-hari bahagia dimana seorang pasutri berkasih
mesra. Dan ketika Bagaspati mencoba menawarkan diri melakukan perburuan, Narasoma
selalu menolak. Padahal Bagaspati merasa senang jika ia dapat memberikan
sesuatu untuk kebahagiaan mereka.
Pada suatu hari seperti biasanya Narasoma melakukan
perburuan di hutan sekitar pegunungan Argabelah. Di tengah hutan belantara itu
Narasoma sering merenung sendiri, ada perasaan gundah, bingung, kepada siapa
harus ia curahkan isi hatinya itu, pada Pujawati? Tidak mungkin. Ia tidak bisa
mengatakannya kepada Pujawati. Ia sangat menyayangi istrinya, ia tidak mau
melukai hatinya. Menjelang sore hari Narasoma tidak mendapatkan hewan buruan
sebab hari itu ia habiskan dalam lamunan kegelisahan hatinya. Ia memutuskan
untuk bermalam di tengah hutan sampai esok hari kembali melakukan perburuan,
walau perburuan hewan hutan itu hanya sebagai alasan saja tetapi Narasoma tidak
ingin melihat istrinya menjadi kecewa setelah beberapa lama pergi namun tidak
mendapat hasil tangkapan.
Malam yang dingin dan pekatnya hutan tidak mampu tertembus
cahaya bulan. Malam itu Narasoma melihat bayangan seekor babi hutan yang sedang
mengendap di rerimbunan tanaman liar. Ia mencoba membidikan anak panahnya,
membangkitkan kepekaan naluri berburunya, dan anak panah pun melesat. Bidikan
Narasoma meleset dari sasaran, babi hutan melarikan diri. Entah karena gelapnya
malam yang mengganggu pandangannya, atau karena kegelisahan hati yang telah
membuyarkan konsentrasinya? Narasoma mencoba mengejar babi hutan tadi, ia masuk
lebih dalam ke dalam hutan. Nun tidak seberapa jauh dari tempat Narasoma
melepaskan anak panahnya tadi, ada sebuah goa yang dijadikan sebagai tempat
pemujaan & bertapanya seorang resi. Tanpa sepengetahuan Narasoma, anak
panah yang dilepasnya tadi telah melukai ibu salah satu jari tangan sang resi
hingga putus. Resi pertapa sangat marah dengan perbuatan yang dilakukan seorang
pemburu yang telah melukainya, ia segera mencari orang tersebut untuk dimintai
pertanggungjawaban. Sang Resi menyusuri hutan namun yang dicarinya tidak
ditemukan, tetapi ia terus mencari, menjelajahi hutan pegunungan Argabelah.
Pujawati duduk diserambi pondok menanti sang kekasih yang
tidak kunjung pulang, sementara Bagaspati mencoba mencari menantunya, ia
khawatir Narasoma tersesat di dalam hutan. Tiba-tiba Pujawati dikejutkan dengan
kedatangan seorang pertapa yang menunjukan anak panah, menanyakan apakah ia
mengenali anak panah tersebut. Pujawati mengaku menganali anak panah tersebut
adalah milik suaminya. Ada rasa was-was pada diri Pujawati, ia khawatir terjadi
apa-apa dengan suaminya. Sang pertapa sangat marah setelah mendengar pengakuan
Pujawati.
“Aku ingin suamimu memotong jari tangannya untuk
menggantikan jari tanganku. Jika suamimu tidak mau mempertanggungjawabkan
perbuatannya, aku akan mengadukannya kepada dewa Brahma agar menghukumnya!”
Dewi Pujawati sangat mencintai Narasoma, ia sangat sayang
kepada suaminya, ia tidak mau suaminya terluka apalagi mendapat hukuman dari
dewa Brahma. Maka, Pujawati mengajukan permohonan kepada sang pertapa. Pujawati
memotong jari tangannya sendiri sebagai pertanggungjawaban perbuatan suaminya
yang telah dianggap salah. Begitulah kesetiaan dewi Pujawati. Ia berani
mengorbankan diri untuk keselamatan Narasoma.
Malam itu perasaan Bagaspati sangat tidak enak hingga ia
memutuskan kembali pulang ke pertapaannya. Sebagai seorang ayah yang sangat
mencintai putrinya, perasaan Bagaspati sangat peka. Ia sangat terkejut setelah
melihat salah satu jari putrinya tidak lengkap, dan setelah mendengar cerita
Pujawati, betapa murkanya Bagaspati kepada si pertapa, namun Bagaspati sangat
terharu atas pembelaan Pujawati kepada suami. Kesetiaan Pujawati sebagai
seorang istri begitu sangat terpuji hingga Bagaspati menambahkan namanya
menjadi Setyawati, Dewi Setyawati.
Disebuah gua di dalam hutan belantara, sang pertapa tengah
bermujasmedi di depan kobaran api pemujaan, ia sangat senang karena jari
tangannya kini telah terlengkapi oleh jari Pujawati, namun tiba-tiba api
pemujaan sang pertapa menjadi besar membuat sang pertapa menjadi terkejut.
Lebih terkejut lagi ketika dalam kobaran api yang membesar itu terlihat wajah
raksasa Resi Bagaspati dengan tawanya yang membahana.
“Hwahahaha… Ggrrrr… Hai pertapa! Kau boleh mengadu kepada
Brahma, bahkan kepada Yamadipati sekalipun, niscaya mereka tidak akan sanggup
mencabut nyawaku! Kembalikan jari tangan putriku, atau aku akan menghancurkan
tempat pemujaanmu dan membunuhmu!”
Sang pertapa mengigil ketakutan, ia sangat mengenal nama
Bagaspati, ia tidak mengira bahwa Pujawati adalah putri dari Bagaspati, maka
tanpa syarat apapun sang pertapa segera memotong kembali jari tangan dewi
Pujawati yang telah ia satukan diantara jari-jarinya. Begitulah kisah kesetiaan
Dewi Pujawati terhadap Narasoma hingga saat itu Narasoma sendiri memanggilnya
dengan nama Setyawati, sesuai yang diberikan Bagaspati.
Setelah kejadian itu, Narasoma yang telah kembali pulang ke
pertapaan, tidak lagi meninggalkan istrinya. Bagaspati senang karena akhirnya
Narasoma menjalani hari-harinya kembali bersama Setyawati (Pujawati). Bagaspati kini menggantikan Narasoma mencari hewan
buruan, ia mencarikan ayam hutan dan daging menjangan (rusa) untuk dihadiahkan kepada mereka. Untuk beberapa hari Narasoma
memendam perasaan yang telah mengganggu pikirannya, walau pada akhirnya
ganjalan hati itu tetap saja meracuninya. Pada suatu hari, dalam cengkeramanya
Narasoma memberikan sebuah teka-teki kepada istrinya. Walau teka-teki itu ia
sampaikan dengan sifat canda dan senda gurau tetapi sempat membuat Setyawati
menjadi penasaran. Beberapa kali ia meminta jawaban dari teka-teki tersebut,
tapi Narasoma tidak mau menjawabnya, ia hanya menyuruh Setyawati mencoba
meminta jawaban kepada ayahnya.
“Bopo resi… Kanda Narasoma memberikan sebuah teka-teki
kepada ananda, walau itu hanyalah sebuah teka-teki, namun entah mengapa hati
ananda merasa gundah dan dilipur rasa penasaran. Kanda Narasoma selalu menolak
tatkala ananda meminta arti dari teka-teki itu, kakanda hanya mengatakan bahwa
ananda coba meminta arti tersebut kepada bopo resi”.
"Katakanlah, apa teka-teki itu putriku"
“Seperti hidangan seperiuk nasi putih hangat yang harum
bagai pandan wangi, sangat nikmat untuk dirasakan, namun sayang ada satu gabah
yang terselip diantara butiran nasi yang ranum itu”.
Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui maksud
dari sebaris kata yang disampaikan Narasoma kepada putrinya. Ia tidak menduga
bahwa selama ini Narasoma menganggap dirinya hanya merusak keindahan mahligai
cintanya kepada Pujawati. Pantas saja jika selama ini Narasoma selalu
menghindar dan selalu beralasan untuk tidak buru-buru pulang kembali kepada
orang tuanya di Mandaraka, mungkin karena dia merasa malu mempunyai mertua
seorang raksasa, kasta yang selama ini dianggap paling rendah martabatnya.
Sedih kembali dirasakan oleh Bagaspati, dilain pihak ia sangat mencintai
putrinya, apapun akan ia berikan asal putrinya bahagia, walau nyawa yang harus
jadi pertaruhannya. Mungkin kematian akan menjadi jalan terbaik dan merupakan
akhir dari dendam Bathara Guru kepadanya.
Bagaspati berbisik kepada putri tercintanya agar segera
memanggil Narasoma, dan meminta sang putri menyiapkan seperangkat peralatan
upacara dan sesaji dengan alasan bahwa Ia akan menganugerahkan Narasoma aji
kesaktian Candrabhirawa yang selama ini dimilikinya. Setyawati segera menuruti
titah ayahandanya.
Saat Setyawati sibuk menyiapkan perlengkapan upacara,
Narasoma telah menghadap Bagaspati, duduk tertunduk. Hatinya yang gelisah
menyimpan tanda tanya, apa gerangan yang akan disampaikan ayah mertuanya,
jantungnya terasa berdebar.
“Narasoma, bopo akan mencoba memberi jawaban atas teka-teki
yang telah disampaikan Setyawati. Bopo akan menjawabnya dihadapan kalian, agar
semuanya menjadi jembar, tidak ada lagi yang harus dipendam, tidak ada yang
harus dipersalahkan. Selain itu bopo juga akan menganugerahkan aji kesaktian
Candrabhirawa kepadamu, namun sebelum itu semua bopo minta kau berjanji. Jaga
dan rawatlah Setyawati, kasih sayangilah dia, cintai dia dengan sepenuh kasih
sayang. Janganlah kau sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang anak gadis
gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan, tetapi
dia anak yang baik, patuh dan sangat setia kepadamu. Jika nanti kau kembali ke
Mandaraka, tidak urung nanti Pegang teguhlah janjimu”.
Narasoma tidak mampu menatap Bagaspati, dengan bibir
bergetar ia mencoba memaksa mulutnya untuk mengucapkan sumpah dihadapan sang
resi bahari.
“Bopo resi… Demi langit dan bumi ananda bersumpah tidak akan
menyia-nyiakan Setyawati. Setulus cinta ananda kepadanya, ananda akan selalu
menjaganya, sehidup semati”.
Hanya itu yang mampu diucapkan Narasoma, begitu sulit
bibirnya untuk berkata-kata, seperti ada beban batin yang menghimpitnya. Bagi
Bagaspati, sedikit ucapan Narasoma itu telah menyejukan hatinya, menenteramkan
pikirannya. Bagaspati lalu menjelaskan aji kesaktian Candrabhirawa yang akan
diturunkan kepadanya. Candra yang berarti bulan dan bhirawa yang mengandung
arti kegelapan bermakna ‘bulan yang
menerangi kegelapan’. Bulan yang diumpamakan sebagai tempat cahayanya hati
orang-orang yang arif, cahaya yang keluar dari hati memantulkan kekuatan yang
tidak dimiliki oleh benda-benda lainnya. Cahaya itu dapat melembutkan kerasnya
hati dan pikiran manusia, sehingga dapat membentuk peradaban yang berguna bagi
alam semesta, maka jadilah seseorang yang mampu menentramkan dan menyenangkan
bagi sesamanya. Bagaspati mengingatkan bahwa aji Candrabhirawa sangat ampuh,
namun aji kesaktian itu akan sangat tidak bertuah jika hanya dipergunakan untuk
mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.
Malam kian larut, bulan yang bersinar dengan bintang
gumintangnya menghias malam, sementara awan hitam mulai merayap, sedikit demi
sedikit gumpalannya yang hitam mulai menyaput, memupuskan cahaya rembulan.
Setyawati telah datang membawa perlengkapan upacara dan sesaji, yang menurut
mereka adalah upacara untuk menurunkan aji Candrabhirawa. Kain kafan dibentang,
wangi dupa dan kembang menebar di ruang pesangrahan, api pancaka mulai
bergemeletakan ketika Resi Bagaspati mulai melakukan muja semedi melantunkan do’a.
Selanjutnya suasana hening, Bagaspati mengatupkan mulutnya, mengheningkan
cipta. Di hadapannya, Narasoma mengikuti segala apa yang diperintahkan sang
resi, sedangkan Setyawati hanya duduk menunggu dua orang manusia yang sangat
disayanginya, tanpa mengetahui apa-apa yang akan terjadi. Setyawati yang polos,
Setyawati yang lugu.
Sekelebat cahaya keluar dari tubuh Bagaspati, namun cahaya
itu seperti ragu untuk meninggalkan jasad sang resi. Di alam sunyaruri awang
uwung suwung, alam diantara ada dan tiada, alam hening yang jauh dari segala
jasad kasar, dimana saat itu hanya Bagaspati yang merasakannya;
“Candrabhirawa, keluarlah! Dihadapanku adalah ahli warisku,
menyatulah kau dengannya, aku ingin pergi ke alam keabadian yang sejati. Telah
tiba waktunya bagiku untuk pulang ke alam kelanggengan. Keluarlah…
Candrabhirawa, ikutlah kau bersamanya, bersama menantuku, Narasoma sebagai
pewaris kejayaan Candrabhirawa.”
"Bopo resi… kenapa bopo mengeluarkanku dari gua garba,
bopo… Aku hanya ingin ikut dengan bopo resi, aku meragukan gua garba ahli
warismu. Dia tidak memiliki darah putih sepertimu bopo…”
“Percayalah padaku, Candrabhirawa. Menantuku seorang yang
baik, patuh dan berbudi luhur, cobalah menyesuaikan diri bersemayam dengannya.”
Awalnya Candrabhirawa menolak, tetapi pada akhirnya dengan sangat terpaksa ia menuruti kata-kata Resi Bagaspati. Candrabhirawa melesat keluar dari garba Bagaspati dan seketika merasuk ke dalam gua garba Narasoma. Putra Mandaraka sempat bergetar tubuhnya saat menerima penyatuan Candrabhirawa. Dilain pihak, berbarengan dengan keluarnya Candrabhirawa dari gua garba Bagaspati, maka ruh Bagaspati pun terlepas dari jasadnya. Sang resi ambruk dari dampar pesangrahan, jatuh ke dalam Pancaka Braja. Dewi Setyawati menjerit tatkala melihat ayahnya terkapar di api pembakaran. Narasoma terkejut, ia segera memeluk Setyawati yang saat itu menangis menjerit ketika mengetahui ayahandanya telah menghembuskan nafas. Itulah jawaban Resi Bagaspati. Narasoma menyesali diri, ia merasa sangat bersalah.
Awalnya Candrabhirawa menolak, tetapi pada akhirnya dengan sangat terpaksa ia menuruti kata-kata Resi Bagaspati. Candrabhirawa melesat keluar dari garba Bagaspati dan seketika merasuk ke dalam gua garba Narasoma. Putra Mandaraka sempat bergetar tubuhnya saat menerima penyatuan Candrabhirawa. Dilain pihak, berbarengan dengan keluarnya Candrabhirawa dari gua garba Bagaspati, maka ruh Bagaspati pun terlepas dari jasadnya. Sang resi ambruk dari dampar pesangrahan, jatuh ke dalam Pancaka Braja. Dewi Setyawati menjerit tatkala melihat ayahnya terkapar di api pembakaran. Narasoma terkejut, ia segera memeluk Setyawati yang saat itu menangis menjerit ketika mengetahui ayahandanya telah menghembuskan nafas. Itulah jawaban Resi Bagaspati. Narasoma menyesali diri, ia merasa sangat bersalah.
sumber: media seni wayang Indonesia
tofancibitung12@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar